Integralistik. Sebuah pembahasan
yang tak akan pernah berujung. Integralistik sendiri secara etimologi dapat
dikatakan merupakan satu kesatauan/kese-luruhan (adjektiva). Dalam
perjalanan panjang republik ini, integralistik sangat berpengaruh baik pada
masa pra maupun pasca kemerdekaan. Konsep "negara integralistik",
yang serupa tapi tak sama dengan bentuk negara kesatuan Indonesia saat ini
pertama kali dicetuskan oleh Soepomo. Jika dibandingkan dengan tokoh tokoh yang
sudah mendarah daging di ingatan masyarakat seperti Soekarno, Hatta, Yamin,
Amir, dll. nama Soepomo mungkin sangat asing di telinga kita. Bisa jadi,
minimnya referensi mengenai biografi dan pemikiran Soepomo, membuatnya
tenggelam di antara nama-nama besar lain dalam sejarah Indonesia.
Dari berbagai referensi yang ada,
konsep integralistik yaitu negara adalah suatu susunan masyarakat yang
integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat
satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Dalam aliran
pikiran integralistik ini, negara tidak memihak pada suatu golongan yang paling
kuat, atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang menjadi pusat,
tetapi menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak
dapat dipisahkan; yang terpenting adalah penghidupan bangsa seluruhnya.
Keinginan para tokoh bangsa kita untuk mewujudkan Indonesia sebagai melting pot
bagi berbagai suku, agama, ras, dan golongan, memang patut diapresiasi. Dapat
diartikan bahwa semua warga negara memiliki status, hak, dan kewajiban yang
sama.
Meski terbilang visioner dan
memiliki niat yang luhur, agaknya kita agak keliru untuk mengambil rujukan ke
Jerman dan Jepang. Konsepsi negara integralistik yang berkembang di kedua
negara tersebut justru bertransformasi menjadi fasisme, dan mungkin kita luput
untuk melihat bahwa fasisme di Jerman dan Jepang telah menjadi catatan kelam
dalam sejarah umat manusia. Fasisme di Jerman telah memakan korban kaum Yahudi
dalam tragedi holocaust, yang justru menegasikan konsep negara
integralistik/totaliter yang ingin untuk merangkul semua golongan masyarakat.
Kekhawatiran akan penyelewengan
negara integralistik/totaliter seperti di Jerman dan Jepang, sialnya, terwujud
pada era Orde Baru. Idealisme ini menjadi nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, ketika kepentingan berbagai golongan dilebur dalam ideologi negara
Pancasila. Patut disayangkan, idealisme ini justru disalahgunakan untuk
kepentingan penguasa dan melegitimasi tindakan represif terhadap suara-suara
yang kritis.
Visi untuk membuat negara
menjadi satu dengan masyarakatnya, justru diselewengkan menjadi state
terorrism. Tak hanya itu, lembaga permusyawaratan, sebuah lembaga yang juga
direkomendasikan/diharapkan menjadi suara rakyat, malah sekedar menjadi tukang
stempel untuk kebijakan pemerintah. Akhirnya, Indonesia, selama 30 tahun,
menjadi negara fasis yang bertopengkan demokrasi.
Bagaimana hubungan teori
Integralistik dengan Pancasila? Sekarang marilah kita membandingkan teori
integralistik dengan Pancasila. Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Masing-masing sila tidak dapat dipahami dan
diberi arti tersendiri yang terpisah dari keseluruhan sila-sila itu. Ini
menggambarkan adanya paham persatuan atau integralistik. Dalam pancasila
sendiri, pada sila ke-3 yang berbunyi, ”Persatuan Indonesia”, menegaskan dan
mencerminkan perwujudan paham integralistik dalam tata kenegaraan kita, Sila ke-3
ini tercermin dalam pokok pikiran
pertama yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut
: ”Negara” begitu bunyinya ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan Indonesia dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Di kampus tercinta ITS Surabaya sendiri,
untuk menumbuhkan semangat integralistik, maka dirancanglah kegiatan bertajuk
"Gerigi (Generasi Integralistik)", tahun ini sudah memasuki tahun
ke-4 pelaksanaan "Gerigi", sejak awal sampai sekarang
"Gerigi" terbukti tidak sedikit memberikan pengaruh positif dan
berbagai solusi yang cukup nyata untuk mengatasi permasalahan yaitu berupa
perbedaan dan arogansi kelompok antar unsur-unsur mahasiswa di ITS ini sendiri.
Walaupun kita tidak bisa bantah bahwa itu belumlah optimal, masih banyak
"oknum yang bertindak semau gue". Oknum yang masih berpikir diatas
ego pribadi/kelompok tertentu yang biasanya menginginkan agar kelompoknya
terlihat lebih "wah" dibandingkan dengan yang lain. Ironisnya, tidak
sedikit oknum seperti ini yang adalah orang yang gagah berani mengkampanyekan
semangat Integralistik di semua elemen mahasiswa, tetapi sekembalinya ke
himpunan/kelompoknya malah merusak dan menanamkan kearogansian berlebihan melalui
kaderisasi yang tiap tahun siklusnya susah untuk diputus. Kita berharap Gerigi ke depan bukan lagi
menjadi sebuah formalitas belaka dalam proses kaderisasi namun sebagai momentum
awal bagi seluruh Keluarga Mahasiswa ITS umumnya dan mahasiswa yang baru saja
menginjakkan kakinya di kampus perjuangan pada khususnya untuk memahami dan
mensinergikan seluruh elemen dan potensi yang ada di ITS dalam budaya
integralistik ITS.
Saat ini, panggilan jaman jelas
sudah berbeda. Globalisasi yang tak terelakkan, serta perkembangan teknologi
yang membuat dunia menjadi tanpa batas, harus direspon dengan jawaban yang
tepat pula. Negara integralistik/totaliter, tentunya, tidak lagi menjadi opsi.
Sejarah telah mencatat bahwa negara integralistik/totaliter apapun ideologinya hanya
menjadi legitimasi pelanggaran hak asasi manusia, serta menambah catatan
panjang kekelaman sejarah dunia.
Tetapi agar Indonesia
menyesuaikan dengan kondisi nyata dan panggilan jaman, menjadi satu dengan
rakyatnya, dan tidak berpihak pada golongan tertentu, akan selalu relevan
hingga masa mendatang. Indonesia dengan ideologi Pancasila, harus dinamis,
menyesuaikan bentuknya dengan lingkungan sekitar, tanpa harus meninggalkan
bentuk aslinya. Parlementer, republik, apapun bentuknya, hanyalah menjadi
sarana untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
No comments:
Post a Comment