Saturday, November 16, 2013

Integralistik: Di Antara Realitas Semu dan Bayang-Bayang Fasisme


Integralistik. Sebuah pembahasan yang tak akan pernah berujung. Integralistik sendiri secara etimologi dapat dikatakan merupakan satu kesatauan/kese-luruhan (adjektiva). Dalam perjalanan panjang republik ini, integralistik sangat berpengaruh baik pada masa pra maupun pasca kemerdekaan. Konsep "negara integralistik", yang serupa tapi tak sama dengan bentuk negara kesatuan Indonesia saat ini pertama kali dicetuskan oleh Soepomo. Jika dibandingkan dengan tokoh tokoh yang sudah mendarah daging di ingatan masyarakat seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Amir, dll. nama Soepomo mungkin sangat asing di telinga kita. Bisa jadi, minimnya referensi mengenai biografi dan pemikiran Soepomo, membuatnya tenggelam di antara nama-nama besar lain dalam sejarah Indonesia.

Dari berbagai referensi yang ada, konsep integralistik yaitu negara adalah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Dalam aliran pikiran integralistik ini, negara tidak memihak pada suatu golongan yang paling kuat, atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang menjadi pusat, tetapi menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisahkan; yang terpenting adalah penghidupan bangsa seluruhnya. Keinginan para tokoh bangsa kita untuk mewujudkan Indonesia sebagai melting pot bagi berbagai suku, agama, ras, dan golongan, memang patut diapresiasi. Dapat diartikan bahwa semua warga negara memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama.  

Meski terbilang visioner dan memiliki niat yang luhur, agaknya kita agak keliru untuk mengambil rujukan ke Jerman dan Jepang. Konsepsi negara integralistik yang berkembang di kedua negara tersebut justru bertransformasi menjadi fasisme, dan mungkin kita luput untuk melihat bahwa fasisme di Jerman dan Jepang telah menjadi catatan kelam dalam sejarah umat manusia. Fasisme di Jerman telah memakan korban kaum Yahudi dalam tragedi holocaust, yang justru menegasikan konsep negara integralistik/totaliter yang ingin untuk merangkul semua golongan masyarakat.

Kekhawatiran akan penyelewengan negara integralistik/totaliter seperti di Jerman dan Jepang, sialnya, terwujud pada era Orde Baru. Idealisme ini menjadi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika kepentingan berbagai golongan dilebur dalam ideologi negara Pancasila. Patut disayangkan, idealisme ini justru disalahgunakan untuk kepentingan penguasa dan melegitimasi tindakan represif terhadap suara-suara yang kritis.

Visi untuk membuat negara menjadi satu dengan masyarakatnya, justru diselewengkan menjadi state terorrism. Tak hanya itu, lembaga permusyawaratan, sebuah lembaga yang juga direkomendasikan/diharapkan menjadi suara rakyat, malah sekedar menjadi tukang stempel untuk kebijakan pemerintah. Akhirnya, Indonesia, selama 30 tahun, menjadi negara fasis yang bertopengkan demokrasi.

Bagaimana hubungan teori Integralistik dengan Pancasila? Sekarang marilah kita membandingkan teori integralistik dengan Pancasila. Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Masing-masing sila tidak dapat dipahami dan diberi arti tersendiri yang terpisah dari keseluruhan sila-sila itu. Ini menggambarkan adanya paham persatuan atau integralistik. Dalam pancasila sendiri, pada sila ke-3 yang berbunyi, ”Persatuan Indonesia”, menegaskan dan mencerminkan perwujudan paham integralistik dalam tata kenegaraan kita, Sila ke-3  ini tercermin dalam pokok pikiran pertama yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut : ”Negara” begitu bunyinya ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan Indonesia dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Di kampus tercinta ITS Surabaya sendiri, untuk menumbuhkan semangat integralistik, maka dirancanglah kegiatan bertajuk "Gerigi (Generasi Integralistik)", tahun ini sudah memasuki tahun ke-4 pelaksanaan "Gerigi", sejak awal sampai sekarang "Gerigi" terbukti tidak sedikit memberikan pengaruh positif dan berbagai solusi yang cukup nyata untuk mengatasi permasalahan yaitu berupa perbedaan dan arogansi kelompok antar unsur-unsur mahasiswa di ITS ini sendiri. Walaupun kita tidak bisa bantah bahwa itu belumlah optimal, masih banyak "oknum yang bertindak semau gue". Oknum yang masih berpikir diatas ego pribadi/kelompok tertentu yang biasanya menginginkan agar kelompoknya terlihat lebih "wah" dibandingkan dengan yang lain. Ironisnya, tidak sedikit oknum seperti ini yang adalah orang yang gagah berani mengkampanyekan semangat Integralistik di semua elemen mahasiswa, tetapi sekembalinya ke himpunan/kelompoknya malah merusak dan menanamkan kearogansian berlebihan melalui kaderisasi yang tiap tahun siklusnya susah untuk diputus.  Kita berharap Gerigi ke depan bukan lagi menjadi sebuah formalitas belaka dalam proses kaderisasi namun sebagai momentum awal bagi seluruh Keluarga Mahasiswa ITS umumnya dan mahasiswa yang baru saja menginjakkan kakinya di kampus perjuangan pada khususnya untuk memahami dan mensinergikan seluruh elemen dan potensi yang ada di ITS dalam budaya integralistik ITS. 

Saat ini, panggilan jaman jelas sudah berbeda. Globalisasi yang tak terelakkan, serta perkembangan teknologi yang membuat dunia menjadi tanpa batas, harus direspon dengan jawaban yang tepat pula. Negara integralistik/totaliter, tentunya, tidak lagi menjadi opsi. Sejarah telah mencatat bahwa negara integralistik/totaliter apapun ideologinya hanya menjadi legitimasi pelanggaran hak asasi manusia, serta menambah catatan panjang kekelaman sejarah dunia.

Tetapi agar Indonesia menyesuaikan dengan kondisi nyata dan panggilan jaman, menjadi satu dengan rakyatnya, dan tidak berpihak pada golongan tertentu, akan selalu relevan hingga masa mendatang. Indonesia dengan ideologi Pancasila, harus dinamis, menyesuaikan bentuknya dengan lingkungan sekitar, tanpa harus meninggalkan bentuk aslinya. Parlementer, republik, apapun bentuknya, hanyalah menjadi sarana untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.


No comments:

Post a Comment