Beberapa poster besar terbentang ketika secara tidak sengaja saya melewati sebuah rumah sakit pendidikan milik kampus negeri dengan fakultas kedokteran yang katanya salah satu yang tertua di Indonesia, rata-rata poster tersebut berisi kata-kata yang belakangan sering terdengar di telinga kita seperti “stop kriminalisasi xxx”, “bebaskan xxx”. Sampai ada satu poster yang cukup menohok dan sangat menarik perhatian saya, kira-kira isinya seperti ini “semoga masyarakat sehat-sehat saja dan tidak sakit, agar kalian tidak memerlukan jasa kami lagi”, entah mengapa dan bagaimana, saya tak bisa bayangkan, apakah sebetulnya yang salah dengan isi kepala para rekan-rekan mahasiswa/dokter sehingga dengan entengnya kata-kata tersebut dipamerkan di tempat umum, belum lagi tujuan dari aksi mogok ini sangat rancu. Bukannya terlalu offensive terhadap suatu profesi tertentu, tetapi kata-kata diposter tersebut semakin menegaskan bahwa profesi yang satu ini sangat anti dengan yang namanya kritik. Kita sama sekali tidak keberatan dengan aksi mogok atau demonstrasi, itu adalah hak. Tetapi dengan dalih solidaritas sesama kaum korporat borjuis sehingga tercipta angan-angan stop kriminalisasi yang jelas betul tendesinya untuk memposisikan diri “kebal hukum”, maka lain lagi ceritanya.
Mungkin ada baiknya para rekan dari profesi tersebut belajar
dari banyak kejadian di masa lalu, disini saya akan sedikit mengutip essay dari
Zen RS tentang seorang anarko terkenal. “Aku mengalami kontak yang sangat dekat
dengan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, dengan ketidakmampuan untuk
mengobati anak-anak yang sakit karena kekurangan uang... Sampai pada titik
[menyaksikan] bagaimana seorang ayah dengan pasrah menerima kematian anaknya
seakan sebagai suatu kecelakaan yang tidak penting. Aku mulai menyadari bahwa
ada hal yang sama pentingnya dari sekadar menjadi terkenal: Aku ingin membantu
banyak orang.”, kalimat-kalimat yang menggugah itu diucapkan oleh Che
Guevara pada 19 Agustus 1960 di hadapan para milisi Kuba. Dalam edisi Inggris
terjemahan Beth Kurti, pidato itu dijuduli “On Revolutionary Medicine”.
Che. Kita tahu, pernah melakukan perjalanan mengelilingi
Amerika Latin di masa mudanya. Seperti yang bisa kita saksikan dalam film
sangat populer, “The Motorcycle Diaries”, Che bukan hanya mengalami
petualangan-petualangan seru nan mendebarkan, tapi juga pengalaman-pengalaman
pedih berjumpa dengan orang-orang sakit yang tak terurus. Perjumpaan-perjumpaan
itu menjadi dasar sangat penting yang
kelak membimbing pilihan hidupnya untuk menjadi seorang revolusioner yang tak
bisa diam melihat penindasan.
Dalam pidatonya itu, Che berbicara tentang pentingnya
peranan para perawat, ahli farmasi, petugas laboratorium di rumah sakit, dan
terutama para dokter dalam perjuangan revolusioner. Baginya, para dokter sama
pentingnya dengan para gerilyawan yang memanggul senjata di hutan-hutan,
rawa-rawa, paya-paya, atau di lorong-lorong kota.
Che mengakui bahwa dalam situasi-situasi tertentu boleh jadi
akan terlihat agak memalukan jika tetap “anteng” berada di sisi orang yang
terluka saat rekan-rekannya sedang sibuk bertempur dan bertaruh nyawa. Tapi,
Che dengan tegas memperingatkan, dalam perannya sebagai seorang gerilyawan dan
seorang revolusioner, dokter harus tetap selalu menjadi dokter.
“Dia harus terus menjadi dokter, yang merupakan salah satu
tugas paling indah dan salah satu yang paling penting dalam perang,” tegas Che.
Kalimat “Dokter harus tetap selalu menjadi dokter” sangat terkenal sampai saat
ini, sampai-sampai menjadi rujukan organisasi keprofesian itu sendiri.
Para kaum borjuis bersegam putih-putih ini ada baiknya perlu
belajar pada kaum buruh dalam menyusun aksi agar aspirasinya bisa didengar,
bukanya turun kejalan dengan membawa poster-poster yang substansinya ngawur dan
pantas ditertawakan masyarakat, belum lagi teman-teman mahasiswa yang turun
aksi, walau bukan semuannya, tetapi sebagian besar lebih sibuk dengan
dokumentasi masing-masing agar bisa dipamerkan di media social mereka. Kembali
ke pembahasan awal, kaum buruh atau pekerja pada umumnya mempunyai trademark
sebagai kaum anarkis atau lebih dikenal sebagai anarko yang sering digambarkan
di berbagai media sebagai kelompok anti-globalisasi. Mereka sering juga
digambarkan sebagai kumpulan penjahat kejam. Hampir tidak pernah ada penjelasan
sedikitpun mengenai ide-ide anarkisme.
Ever reviled, accursed, -n'er understood,
Thou art the grisly terror of our age.
"Wreck of all order," cry the multitude,
"Art thou, and war and murder's endless rage."
O, let them cry. To them that ne'er have striven,
The truth that lies behind a word to find,
To them the word's right meaning was not given.
They shall continue blind among the blind.
But thou, O word, so clear, so strong, so pure,
That sayest all which I for goal have taken.
I give thee to the future! -Thine secure
When each at last unto himself shall waken.
Comes it in sunshine? In the tempest's thrill?
I cannot tell......but it the earth shall see!
I am an Anarchist! Wherefore I will
Not rule, and also ruled I will not be!
-John Henry Mackay
Kaum anarkis percaya akan sebuah revolusi yang dilakukan
oleh kaum pekerja. Revolusi ini akan menggulingkan para pemilik modal dan
pemerintahan dan pada akhirnya mewujudkan sebuah masyarakat yang dijalankan dan
dikendalikan oleh orang-orang yang turun langsung mengolah kekayaan dan sumber
daya alam dunia. Mereka percaya bahwa kehidupan tanpa pemerintahan adalah
sangat mungkin. Pemerintahan akan digantikan oleh dewan-dewan dan
majelis-majelis di mana orang-orang biasa bisa memutuskan secara langsung
segala kebijakan atas kekayaan dan sumber daya alam dunia tadi. Para anarko
percaya prinsip persamaan untuk semua dan kami juga percaya bahwa solidaritas
maksimal diperlukan oleh kaum pekerja dan kaum tertindas lainnya jika kami mau
mengalahkan kelompok yang hidup dari keringat mereka.
Ketika kita mendengar kata “kaum anarkis”, kita dibuat
percaya oleh media dan pemerintah bahwa mereka adalah sekumpulan pelempar bom
yang gila. Mitos-mitos diciptakan bahwa para anarko adalah kaum yang gila
kekerasan. Vandalisme sering disalah artikan sebagai anarkisme. Mitos lain yang tidak kalah terkenal bahwa anarkisme berarti
kekacauan. Politisi, kaum pemilik modal dan agen-agen mereka di media selalu
mengkampanyekan bahwa tanpa pemerintahan, yang ada adalah kekacauan. Tapi pernahkah
kita merenung tentang keadaan sosial masyarakat sekarang dan merasa bahwa kita
sebenarnya sudah hidup dalam kekacauan?
Kita mungkin bertanya; kenapa? Ada satu alasan yang jelas
yaitu PROFIT! Saat ini kita hidup di tengah masyarakat yang terdiri atas dua
kelas – kaum kapitalis dan kaum pekerja. Kaum kapitalis memiliki pabrik-pabrik,
bank, toko-toko, dan lain-lain. Kaum pekerja tidak memiliki apapun. Yang mereka
miliki adalah tenaga yang digunakan untuk bertahan hidup. Kaum pekerja harus
menjual tenaga mereka kepada kaum kapitalis untuk ditukarkan dengan kompensasi
gaji. Kaum kapitalis mempunyai kepentingan untuk memeras sebanyak mungkin
tenaga yang dimiliki kaum pekerja dengan kompensasi gaji seminimal mungkin agar
profit yang didapatkan besar. Semakin besar gaji seorang pekerja, semakin kecil
keuntungan yang didapat si kapitalis. Jadi, kepentingan kaum pekerja dan kaum
kapitalis adalah saling berlawanan.
Produksi tidak didasarkan atas keperluan masyarakat umum,
tetapi untuk atas dasar mengejar profit. Oleh karena itu, meskipun seluruh
sumber makanan di dunia ini mencukupi untuk memberi makan semua orang, tetap
akan ada kelaparan, karena profit selalu jadi acuan utama. Inilah yang disebut
kapitalisme.
Apa Itu Negara?
Agar tujuan kaum pekerja benar-benar tercapai, maka kaum
kapitalis harus disingkirkan. Tapi ini bukan tugas yang mudah. Kaum kapitalis
terorganisasi dengan baik. Media berpihak kepada kaum kapitalis. Begitu juga
negara dan segenap aparaturnya – pejabat publik pemerintahan, tentara,
pengadilan, polisi, dan lain-lain – berpihak kepada kaum kapitalis. Negara
adalah contoh nyata bahwa kita sebenarnya hidup di tengah-tengah masyarakat
yang terbagi berdasarkan kelas. Kita hidup di tengah dunia di mana 225 orang
terkaya memiliki kekayaan gabungan yang sama dengan pendapatan tahunan 2.5
milliar penduduk termiskin.
Negara hadir untuk melindungi kepentingan kaum kaya
minoritas tadi, jika bukan oleh persuasi, dengan kekerasan. Hukum dan
undang-undang hadir dan dibuat bukan untuk melindungi kaum pekerja tapi untuk
melindungi mereka yang memiliki berbagai aset.
Pemilihan Umum
Kita selama ini diberikan ilusi bahwa negara dijalankan
untuk kepentingan kita melalui sistem pemilihan umum. Bukankah pemilihan umum
secara prinsip adalah instrumen untuk menjamin pemerintah tidak
sewenang-wenang? Ya, kita memang diberikan kebebasan untuk memilih, tapi
pilihan kita terbatas pada partai-partai politik yang semuanya secara prinsip
setuju dengan sistem di mana segelintir minoritas elit menguasai seluruh bangsa
dan kekayaannya.
Pemilihan umum pada akhirnya hanya akan membuat kaum
revolusioner melupakan prinsip-prinsip revolusi mereka. Kaum revolusioner,
lewat pemilihan umum, akan mengorbankan idealisme demi popularitas untuk
memastikan bahwa mereka akan terpilih. Keterpilihan menjadi jauh lebih penting
daripada memberikan pendidikan kepada publik tentang sosialisme. Hal ini juga
berarti bahwa para pemilih dilihat tidak lebih dari sekedar penonton proses
politik, bukan sebagai individu-individu yang bisa berpartisipasi dalam politik
dan mewujudkan masyarakat sosialis.
Sosialisme tidak bisa diwujudkan melalui parlemen. Contoh
nyatanya adalah di Chile. Pada tahun 1973, rakyat Chile memilih pemerintahan
sosialis moderat di bawah pimpinan Presiden Allende. Pemerintahan yang dipilih
secara demokratis ini digulingkan oleh CIA yang didukung oleh militer. Atau yang
terbaru adalah kudeta militer yang terjadi di Mesir. Kudeta-kudeta ini diikuti
oleh tindakan-tindakan represif atas organisasi-organisasi pergerakan kaum
pekerja. Ribuan kaum pekerja radikal dibunuh.
Prinsip sentral politik kami adalah revolusi harus diwujudkan
oleh masyarakat umum. Setiap anggota kaum pekerja (para pekerja, pengangguran,
ibu rumah tangga, dan lain-lain) memiliki peranan penting. Hanya dengan
partisipasi menyeluruh ini kita bisa mewujudkan anarkisme. Para anarko percaya
bahwa revolusi harus bergerak dari bawah ke atas. Jangan harap kebebasan
diberikan cuma-cuma, kebebasan harus diambil.
Di sinilah perbedaannya, kaum anarko, dengan mereka yang
disebut sebagai “kaum revolusioner kiri”. Kaum revolusioner kiri masih percaya
bahwa sebuah partai politik masih diperlukan untuk sebuah revolusi rakyat.
Kebanyakan dari mereka mendasarkan pemikiran mereka kepada Lenin yang
menganggap kaum pekerja baru hanya mampu mencapai tingkayan “kesadaran serikat
kerja”. Menurut Lenin, kaum pekerja masih memerlukan sebuah partai politik yang
terdiri dari para aktivis-aktivis revolusioner profesional. Apa yang kita lihat
di Rusia bukanlah sosialisme. Kekuasaan masih berada di dalam genggaman
segelintir elit partai politik. Negara masih menjadi bos dan kaum pekerja masih
dieksploitasi dan diperintah-perintah. Hal ini juga terjadi di Indonesia
menjelang akhir orde baru, munculah suatu pegerakan yang bergerak dibawah
bendera Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berisi para pemuda dengan ideologi
sosialis kiri dan boleh dibilang berperan besar atas jatuhnya orde baru, tapi
entah sekarang kemana, para aktivisnya sudah terseret arus nikmatnya berada di
lingkaran kekuasan sehingga PRD mati dengan sendirinya .
Jadi, menurut para anarko, revolusi sepenuhnya tergantung
pada masyarakat umum, yaitu orang-orang biasa. Beberapa mungkin bertanya:
“mungkinkah? Tidakkah yang akan muncul justru kekacauan?”. Tentu saja tidak.
Saat ini, kapitalisme akan runtuh tanpa dukungan kaum pekerja. Kaum pekerjalah
yang membuat dan memproduksi segalanya. Kaum pekerjalah yang menghasilkan
seluruh kekayaan yang ada. Adalah sangat mungkin untuk mengorganisasikan semua
proses produksi agar kebutuhan setiap orang terpenuhi. Juga sangat memungkinkan
untuk membangun sebuah struktur yang memberikan ruang buat semua orang untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
mereka secara keseluruhan.
Kehidupan bermasyarakat akan didasarkan pada pengadaan
pabrik-pabrik dan dewan-dewan komunitas. Semua organ-organ ini akan membentuk
federasi satu dengan yang lainnya sehingga mencakup area-area yang lebih luas.
Utusan-utusan akan dikirim dari setiap daerah dan tempat kerja. Utusan-utusan
ini bisa dipanggil kembali dan diganti sewaktu-waktu jika orang-orang yang
memilih mereka tidak puas. Dengan perkembangan teknologi terbaru, keputusan
yang melibatkan banyak orang akan lebih mudah dan lebih cepat dilaksanakan.
Dalam masyarakat ini akan ada kebebasan individu yang murni.
Setiap individu akan menyumbang segenap potensinya kepada masyarakat tanpa
melanggar kebebasan individu lainnya. Pada dasarnya, para anarko percaya bahwa
setiap orang itu baik dan jikalau seseorang diberikan kebebasan, dia tidak akan
dengan mudah menyerahkan kebebasan itu atau menghancurkannya.
Anarkisme dalam Aksi
Seperti kebanyakan yang orang dengar tentang Anarkisme, anda mungkin percaya bahwa "itu adalah
ide yang baik tapi sayangnya itu tidak akan pernah berhasil. Orang secara alami
mempunyai keserakahan dan keegoisan, jika tidak ada pemerintah untuk menjaga
kepentingan kita akan ada terjadi chaos".
Tapi ada juga contoh sejarah anarkisme sukses dilakukan.
Yang terbesar dari ini terjadi pada tahun 1936 selama Perang Saudara Spanyol.
Ini dimulai dengan percobaan kudeta pemerintahan yang fasis. Dengan kudeta ini
pekerja dimobilisasi untuk mengalahkan fasisme. Milisi populer dibentuk oleh
serikat pekerja dengan cara menyita pabrik. Petani mengambil alih lahan yang
telah ditinggalkan oleh para tuan tanah. Hal ini menandai awal dari revolusi
untuk kaum Anarkis. Mereka percaya bahwa Perang Saudara harusnya bukan hanya
melawan fasisme tetapi juga melawan sistem kapitalist yang telah menelurkan bibit-bibit
fasisme.
Dalam zona yang dikendalikan oleh kaum Anarkis, impian dalam
hal manajemen diri pekerja menjadi kenyataan. Di Catalunia setidaknya ada 2.000
kolektif industri dan komersial. Setidaknya 60% dari pertanian Republik
Spanyol itu dikolektifkan.
Aksi Wanita
Manfaatnya juga telah dirasakan oleh perempuan. Mereka hadir
di mana-mana; di dalam komite, dalam para militer, di garis terdepan. Pada
perang-perang terdahulu , perempuan berjuang bersama laki-laki dapat dikatakan
sebagai hal yang biasa. Itu bukan hanya kasus wanita mengisi untuk laki-laki
yang jauh di depan. Mereka berada di militer dan berjuang bersama laki-laki sebagai
mahluk yang sederajat. Mereka mengorganisir secara kolektif dan mengambil posisi
memerangi sikap pelecehan seksual yang sering terjadi di masa lalu, yang tidak
memiliki tempat dalam revolusi nyata. Selama perang, aborsi disahkan dalam
'zona republik'. Pusat perjuangan dibuka untuk perempuan, termasuk gadis-gadis
muda dan pelacur. Salah satu pejuang perempuan dalam Perang Saudara mengatakan
: "Rasanya seperti berada di tengah saudara laki-laki dan saudara
perempuan. Faktanya itu selalu
mengganggu saya bahwa laki-laki di negara ini tidak menganggap perempuan
sebagai makhluk dengan hak asasi manusia penuh. Tapi sekarang ada perubahan
besar ini dan saya percaya itu muncul secara spontan dari gerakan revolusioner
"
Pelajaran yang bias dipetik
Sejarah memang tidak netral. Apa yang kita pelajari di
sekolah hanyalah akal-akalan pemerintah,
penguasa dan kapitalisme. Justru apa yang kita tidak pelajari telah banyak kali
menunjukkan bahwa pemerintah ini tidak diperlukan. Orang-orang ini pada
dasarnya tidak buruk. Mengingat kita telah diberi kondisi yang tepat untuk
saling membantu dan menumbuhkan kerjasama.
Sejarah menunjukkan bahwa ide-ide anarkis bisa bekerja. Sebuah
masyarakat baru dapat tercipta dengan kontrol pekerja. Tapi itu tidak akan
terjadi secara spontan. Kita harus mengatur semuanya untuk itu.
Itulah sebabnya kita perlu organisasi revolusioner. Sebuah
organisasi yang menyatukan semua orang yang berjuang untuk kontrol buruh. Sebuah
organisasi yang memberi kita kesempatan untuk bertukar ide, pengalaman, dan
belajar dari pelajaran sejarah yang telah terjadi. Sebuah organisasi yang
memfasilitasi perjuangan kita bersama-sama untuk masyarakat baru.
No comments:
Post a Comment