Ketika Indonesia mendeklarasikan diri sebagai sebuah Negara
Kesatuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945, ini adalah
sebuah dilema besar. Dilema besar yang tercipta dari fakta sosiologis bahwa
Indonesia adalah sebuah Negara yang berdiri diatas fondasi heterogenitas budaya
dan adat istiadat. Sebuah hal yang tidak bisa kita nafikkan bahwa sebelum
Indonesia berdiri sebagai sebuah Negara, setiap daerah adalah satuan-satuan kecil
pemerintahan yang memiliki sistem hukum dan cara hidupnya masing-masing. Dari
Sabang sampai Merauke adalah jejeran geografis yang bercerita tentang fakta
historis yang berbeda-beda.
Saya kemudian teringat dengan pelajaran sewaktu SD dulu bahwa
Indonesia menjadi Negara yang mempersatukan seluruh daerah karena adanya rasa
senasib dan sepenanggungan yang dialami oleh setiap daerah. Bahwa setiap daerah
yang kini bergabung kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
daerah-daerah bekas jajahan Belanda dan Jepang. Alasan inilah yang kemudian
dijadikan pelajaran turun-temurun sebagai rasionalisasi bahkan brainwashing kepada setiap generasi
bahwa “perasaan” itu adalah “penghapus” sejarah yang paling ampuh yang
menghapus sejarah setiap daerah.
Menciptakan Negara Kesatuan diatas landasan heterogenitas
bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Hal ini juga kemudian menempatkan
Indonesia menjadi satu-satunya Negara Kesatuan diatas landasan heterogenitas
budaya di dunia. Amerika saja yang awalnya adalah Negara yang terbentuk dari
koloni-koloni imigran inggris tidak memilih bentuk Negara Kesatuan sebagai
bentuk ideal negaranya. Mereka lebih memilih menjadikan Amerika sebagai sebuah
Negara Federal dimana setiap koloni bertranformasi menjadi Negara-negara
bagian. Apa yang harus dilakukan Indonesia dengan pilihan bentuk Negara
Kesatuannya adalah meleburkan setiap budaya dasar disetiap daerah untuk
menciptakan sebuah budaya nasional. Namun, apakah budaya nasional yang
dimaksdukan adalah sebuah budaya sintesis atukah budaya pemenang yang lahir
dari sebuah proses akulturasi?
Jawabannya adalah “budaya pemenang” yang lahir dari sebuah
proses akulturasi. Pembunuhan beberapa budaya untuk memaksakan sebuah budaya
sebagai representasi merupakan pekerjaan yang berefek pada terciptanya sebuah
cara berfikir di masyarakat yang menempatkan sebuah daerah lebih tinggi dari
daerah yang lainnnya. Kita tidak pernah melihat bahwa yang dimaksudkan dengan
budaya nasional adalah sebuah budaya yang bergabung dari beberapa budaya lokal.
Tapi yang kita lihat adalah, orang papua yang dipaksa untuk mengenakan baju
batik. Bahwa daerah wisata yang merupakan representase pariwisata internasional
adalah Bali dan tolak ukur masyarakat modern adalah kehidupan seperti di
Jakarta.
Realitas ini tentu saja merupakan penyebab terbesar
ketertinggalan sebagian besar daerah dan menyebabkan Jakarta menjadi
kota Over Capacity. Karena mayoritas orang di Indonesia beranggapan
bahwa hidup di Jakarta memiliki prestise sosial yang lebih tinggi daripada
hidup di daerahnya sendiri. Paradigma inilah yang kemudian tumbuh subur bahkan
sampai di tingkat perguruan tinggi dan meracuni pemikiran sebagian besar
mahasiswa. Yang nantinya, ketika mereka lulus, mereka akan melanjutkan hidup di
Jakarta dan meninggalkan daerahnya.
Mereka tidak bisa disalahkan dalam persoalan ini, karena
faktanya bahwa memang kehidupan yang lebih menjanjikan ada di kota besar. Yang
jadi pertanyaan adalah, ketika hanya sebagian kecil kota di Indonesia yang
dijadikan kota besar ini berarti bahwa pembangunan yang terjadi berjalan diatas
prinsip-prinsip diskriminatif. Mengapa tidak semua daerah dibangun dengan
infrastruktur yang sama? Bukankah New York adalah kota termaju di USA sedangkan
Ibu Kota justru berada di Washington DC?
Ataukah mungkinkah lebih baik kalau Indonesia mengikuti jejak Uncle Sam menjadi sebuah Negara Federal?
Yap. Konsepsi “Negara Kesatuan” memang dari sononya hanya merupakan
ilusi. Harusnya dengan kodrat Indonesia sebagai negara kepulauan, bentuk negara
yang tepat adalah "Negara Federasi". Otonomi adalah jembatan menuju
kesana, tapi sistem ini terlalu tanggung atau mendekati tapi tidak pernah
menyentuh/sampai pada harapan akhir (asimtot).
Konsepsi NKRI telah menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan
khususnya bagi daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam, namun miris dalam
pembangunan. Negara Federasi akan meluaskan keberagaman, bukan keseragaman, namun
tetap saja berada dalam satu pondasi konstitusi yang kuat yang mengukuhkan
Indonesia.
NKRI ini kapal besar namun bapuk. Bolong dimana-mana. Tambal di
sini, bocor di sana. Boro-boro bermanuver, jalan selo saja susah. Lebih baik
negara ini dipecah saja jadi 6-8 Negara Federal. Biar NKRI ini tak cuma mutar-mutar
aja kayak sekarang. Sekarang kegedean. Ruwet. Kapal besar yang bolong
dimana-mana.
Sendi sosial, ekonomi, juga sistem politik di NKRI ini sudah
mati gaya. Negara ini auranya sudah negatif dari sononya. Jadi intinya, NKRI
ini adalah obstacle kemajuan. Mustahel bisa jadi katalis.
Bubarkan, wassalam.
Referensi;
- Nurul, Wa Ode. 2014. Negara federal menuju keadilan sosial.
- ubegebe.com 2015. Negara gagal.