Saturday, January 18, 2014

Golongan Putih: Pesimisme Yang Dibalut Intelektualitas?


Pemilu; berbicara soal pemilu, pastilah berbicara soal pilihan. Pemilu, adalah sebuah proses pemilihan seseorang untuk jabatan politik tertentu. Dan dalam proses pemilihan tersebut, seorang pemilih tentu dipengaruhi beberapa faktor, sehingga membuat si pemilih merasa perlu untuk turut menyumbangkan suara. Aurel Croissant, seorang profesor ilmu politik dari University of Heidelberg, mengatakan ada tiga faktor pendorong yang mempengaruhi seorang pemilih untuk terlibat dalam proses pemilu: fungsi keterwakilan, integrasi, serta kemampuan dan jaminan stabilitas seseorang untuk menjalankan jabatannya. Lalu pertanyaannya adalah: bagaimana jika faktor tersebut tak sanggup dipenuhi oleh sang calon empunya jabatan?

Kebanyakan pemilih di Indonesia, tak mempermasalahkan apabila seorang calon tidak memlih faktor pendorong kedua dan ketiga. Dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dijelaskan bahwa masyarakat khususnya di skala lokal, masih melihat faktor keterwakilan; entah ditinjau dari aspek geografis, maupun ikatan emosional, sebagai salah satu faktor kuat yang membuat mereka turut menyumbang suara. Wajar, karena isu yang dijual oleh para bakal calon ini cenderung lebih dekat dengan kepentingan pemilih lokal. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, terjadi peningkatan kualitas pemilihan. Berbekal pendidikan politik yang baik, hal-hal yang dinilai tidak relevan dengan jaminan mutu, kini tidak lagi menjadi jaminan faktor pendorong. Integrasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan jabatan, kini dipandang sebagai faktor utama yang dapat mempengaruhi perolehan suara. Akan tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak semua bakal calon yang terlibat dalam proses pemilu, memiliki jaminan mutu tersebut. Dalam sebuah sistem kepemimpinan yang menjunjung tinggi asas demokrasi, setiap individu dinilai memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki sebuah jabatan politik. Asalkan sanggup memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, baik/buruk-nya jejak rekam sang bakal calon, tentu menjadi pertimbangan nomor sekian.

Berangkat dari kecemasan inilah, muncul gerakan masif yang mulai merambat dari skala lokal menuju ke skala nasional. Gerakan ini disebut sebagai gerakan golongan putih atau biasa disebut golput. Tidak memilih, adalah antitesa dari hiruk pikuk pemilu. Namun sekalipun begitu, golput bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam proses pemilu, karena pemilu di Indonesia, termasuk pilkada  menggunakan sistem legitimasi formal, dan prinsip memilih sebagai sebuah voluntary voting. Sebagaimanapun tingginya angka golput, tidak akan pernah membatalkan hasil pemilu. Meski secara substansif, tingginya angkat golput ini merepresentasikan rendahnya legitimasi serta kepercayaan para pemilih terhadap bakal calon, atau bahkan pemilu itu sendiri. Namun jika ingin dicermati, gerakan golput sebenarnya memiliki kecenderungan membela hak pilih, hanya saja hak pilihnya bukan untuk memilih partai, tapi hak pilih untuk tidak memilih.

“If voting changed anything, they’d make it illegal,”  Emma Goldman

Beberapa bulan belakangan ini terjadi sebuah fenomena yang cukup menggetirkan: kampanye hitam terhadap golput). Di berbagai forum dan media, baik media sosial maupun konvensional, terjadi sebuah penggiringan opini bahwa orang-orang golput adalah sekumpulan pemalas yang tidak mau memakai hak politiknya sehingga membuat demokrasi di Indonesia tidak meningkat kualitasnya dan pada akhirnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tidak meningkat.

Ini adalah sebuah fenomena yang menggelikan karena seakan-akan semua permasalahan yang ada di bangsa ini adalah kesalahan golput padahal tidak ada teori ilmu politik manapun atau fakta sejarah yang menunjukkan bahwa golput memiliki hubungan dengan kualitas demokrasi maupun kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Golput pada hakekatnya juga sebuah hak politik yang dipergunakan yaitu hak untuk tidak memilih karena berbagai alasan. Terlalu kerdil dan dangkal rasanya untuk menyatakan golput adalah sebuah tindakan yang salah dari para pemalas. Ada berbagai pertimbangan dan alasan rasional di balik keputusan untuk menjadi golput di masa seperti sekarang.

Saya sendiri adalah seorang golput sejati. Saya tidak pernah menggunakan hak pilih saya dalam 5 Pilkada belakangan ini untuk suatu calon tertentu sejak 2012, tahun di mana umur saya dinyatakan cukup oleh negara untuk berpartisipasi dalam pemilu, dan mungkin juga saya tidak akan menggunakan hak pilih saya untuk suatu partai atau calon di masa depan.

Pada pemilu 1999, sistem pemilihan presiden yang digunakan adalah tidak langsung. Pada waktu itu euforia terjungkalnya Orba begitu besar dan memberikan keuntungan besar bagi PDI-P, partai yang waktu itu ketua umumnya Megawati Soekarnoputri dianggap publik sebagai korban kezaliman Soeharto.  Harapan kita akan suatu perubahan yang lebih baik cukup besar pada waktu itu, akan tetapi seiring berjalannya waktu, mulai terlihat bahwa yang namanya “perubahan” tidak bisa diharapkan dari segerombolan serigala di pemerintahan. Serigala-serigala yang ironisnya dulu berjuang menumbangkan tiran bernama Soeharto kini menjadi pemangsa-pemangsa baru.

Gus Dur digantikan oleh wakilnya, Megawati. Masa pemerintahan Megawati bisa dianggap sebagai salah satu masa paling korup dalam waktu yang sangat singkat. Skandal-skandal korupsi pemerintahan ini baru mulai terkuak di pemerintahan berikutnya dan cukup bisa menggambarkan betapa mengerikannya keserakahan para perwakilan partai “wong cilik” ini dalam menghabisi uang rakyat untuk kepentingan mereka sendiri. Prestasi “puncak” pemerintahan ini adalah pembunuhan aktivis HAM Munir yang sampai saat ini masih diselimuti misteri. Sejak saat itu saya tidak akan pernah lagi percaya terhadap Golkar maupun PDI-P yang terlalu munafik dalam berkuasa maupun ber-oposisi. Saya pun mulai berpikir jika PKI saja yang sampai HARI INI tidak terbukti melakukan tindak vandalisme seperti yang dituduhkan pada tragedi 65 bisa dibubarkan, kenapa kedua partai yang silih berganti berkuasa dan menghamburkan uang rakyat selama 4 dekade masih bisa eksis sampai hari ini?

Pada saatnya pemilu 2004, kekecewaan dan pesimisme kita terhadap pemerintah semakin menjadi-jadi. Di pemilu kali ini, pemilihan presiden dilakukan secara langsung dan pada waktu itu muncul figur bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Figur ini adalah salah satu menteri paling dipercaya oleh Megawati pada awalnya. Akan tetapi ketika ambisi politik Yudhoyono makin terlihat, hubungannya dengan Megawati semakin meruncing dan pada akhirnya yang bersangkutan terpaksa mengundurkan diri dari kabinet. Yudhoyono saat itu berpasangan dengan putra daerah Sulsel dan senior kita di HmI yang kebetulan saat itu juga merupakan salah satu menteri, yaitu Jusuf Kalla. Jika kita mau objektif, kapabilitas JK tidak usah diragukan lagi, tetapi ada satu kekurangan beliau, yaitu; Nepotisme. Nepotisme JK meliputi banyak hal, diantaranya mengenai empowerment dan distribusi kekuasaannyaKadang kita bertanya-tanya sendiri, kenapa orang-orang Sulsel bisa merajai politik Indonesia? Dari para koruptor sampai yg nangkap koruptor.

Publik pada waktu itu melihat Yudhoyono sebagai figur yang dizalimi, sama seperti persepsi terhadap Megawati ketika reformasi di 1998. Dua individu yang berbeda tapi menggunakan topeng penarik simpati yang sama dan siapapun yang memakai topeng untuk menarik simpati tidak layak untuk dipercaya.

Pemerintahan Yudhoyono pada 2004-2009 terbukti kembali meninggalkan banyak kekecewaan. Korupsi tetap merajalela, salah satu pelakunya malahan besan presiden sendiri. Janji Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus Munir dan pelanggaran HAM 98 juga tidak terwujud dan tentunya siapa yang bisa menghapus tragedi pembiaran meluapnya Lumpur Lapindo dari sejarah sebagai salah satu “tinta emas” pemerintahan Yudhoyono yang pertama?

Pemerintahan Yudhoyono pertama juga menunjukkan bagaimana sekumpulan orang pintar di tingkat eksekutif pada akhirnya cuma handal menyusun konsep tapi payah dalam melakukan eksekusi. Rencana-rencana pembangunan infrastruktur, pembukaan akses finansial, diversifikasi energi dan lain-lain pada akhirnya hanya menjadi wacana di atas kertas saja.
Warisan “jago menyusun wacana” dari pemerintahan Yudhoyono pertama ternyata telah berhasil menulari capres-capres yang lain. Ini sangat terlihat dalam debat-debat capres. Di dalam debat-debat tersebut, semua capres menyampaikan wacana dan janji-janji yang sama tanpa adanya elaborasi yang lebih jelas untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka memang memiliki kapasitas untuk memimpin salah satu perekonomian dan demokrasi terbesar di dunia.

Sebagai contoh; ketika isu mengenai kemandirian energi diangkat, semua capres berjanji bahwa mereka tidak akan menaikkan harga BBM demi kesejahteraan masyarakat. Tapi tidak ada satupun yang mengelaborasi dengan cukup jelas tentang apa rencana mereka tentang energi terbarukan, apa yang akan mereka lakukan untuk mengurangi impor BBM, dan lain-lain.

Semua capres bertingkah layaknya anak-anak remaja akil balik berlingkar otak mini dan kebingungan sehingga mereka mencoba segala cara untuk memberikan jawaban yang terdengar enak di kuping tapi kosong secara substansi. 

Melihat fakta-fakta di atas, apakah golput bisa disalahkan atas lahirnya pemerintahan yang buruk atau sebaliknya, pemerintahan yang buruklah yang menjadi penyebab utama semakin pesimisnya masyarakat terhadap pemilu dan meningkatnya golput?

Menjelang pemilu 2014, seperti saya katakan di atas, mulai muncul fenomena yang bertujuan menggiring masyarakat ke bilik pemilihan untuk memilih partai dan presiden. Selain kampanye hitam terhadap golput, juga muncul jargon-jargon untuk menjustifikasi kenapa kita “harus” memilih.

Salah satu justifikasi yang paling sering digaungkan adalah “memang tidak ada yang sempurna karena itu pilihlah yang terbaik dari yang terburuk” atau bahasa kerennya adalah “the lesser of all evils”.

Menurut pendapat saya, justifikasi seperti itu adalah sesuatu yang ngawur. The lesser of all evils is still an evil. Jika calon A punya track record pernah korupsi 100 M, calon B 200 M dan calon C 300 M, tetap saja memilih calon A adalah memilih seorang koruptor untuk menjadi pemimpin. Dan begitu dia menjadi pemimpin, hampir bisa dipastikan korupsinya lebih gila dari calon B dan calon C digabung.

Jadi apa harus ada pemimpin yang benar-benar bersih? Ya memang. Hanya orang bodoh yang mau dirinya dipimpin oleh bandit dan memilihnya secara sadar.

Dan sekarang pertanyaannya; kenapa tidak pernah muncul pemimpin bersih yang benar-benar layak dipilih selama ini? Jawabannya bukan di masalah memilih atau tidak, jawabannya ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat yang brengsek hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang brengsek. Masyarakat yang munafik akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang munafik. Masyarakat yang bermental bandit akan mendudukkan gembong-gembong bandit pada tampuk-tampuk kekuasaan.

Sekarang coba lihat masyarakat Indonesia secara keseluruhan dan nilai sendiri. Lupakan jargon-jargon nasionalisme semu seperti “bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” dan lain-lain sebab pada kenyataannya masyarakat kita pada saat ini benar-benar sampah.

Di saat bangsa lain sudah mulai membentuk masyarakat madani yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah, masyarakat kita, ironisnya di sebagian besar anak mudanya, masih bermental inlander atau budak yang mengharapkan keselamatan dan perubahan dari figur seorang ratu adil atau satria piningit.

Mental instant juga masih terpatri dalam masyarakat kita dan ini terlihat dari banyaknya buku-buku sampah tentang cara cepat menjadi kaya di deretan best seller di samping tentunya buku-buku so called “selebtweet”. Sistem pendidikan kita yang hanya berbasis nilai bukan proses juga menumbuhkan mental korup sejak usia dini. Bagaimana mungkin ada pemimpin bersih atau peningkatan kualita kehidupan bisa muncul dari masyarakat sampah seperti ini?

Pada akhirnya yang harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari individu-individu di dalam masyarakat itu sendiri, bukan pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis maupun manja, maka kesejahteraan tidak akan pernah terwujud. Yang menyedihkan adalah individu-individu semacam ini justru semakin menjamur di segmen kelas menengah dan muda, segmen berpendidikan yang diharapkan bisa menjadi penggerak.

Anda boleh memiliki gadget bernilai jutaan dan berkantor di gedung menterang, akan tetapi selama anda masih dengan noraknya mengharapkan perubahan akan datang dari seorang figur yang anda buzz di social media dan bela habis-habisan seakan dia adalah Tuhan agar banyak pemilih yang memilih dia, maka anda tetap saja bermental seorang budak; seorang pandir yang tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup bahwa perubahan kehidupannya ada di tangannya sendiri.

Kaum golput bukanlah sekumpulan pemalas penyebar pesimisme seperti yang banyak didengung-dengungkan akhir-akhir ini. Sebaliknya, kaum golput adalah orang-orang optimis yang merasa tidak perlu memberikan mandat atas kehidupannya kepada figur-figur bandit. Kaum golput adalah orang-orang mandiri yang merasa tidak perlu menghamba dengan putus asa dan berdoa akan kehadiran sosok ratu adil atau satria piningit. Kami bukan budak dan kami bukan penjilat kekuasaan.

No comments:

Post a Comment