Tuesday, March 8, 2016

NKRI: Harga Mati atau Bikin Mati (?)



Ketika Indonesia mendeklarasikan diri sebagai sebuah Negara Kesatuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945, ini adalah sebuah dilema besar. Dilema besar yang tercipta dari fakta sosiologis bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang berdiri diatas fondasi heterogenitas budaya dan adat istiadat. Sebuah hal yang tidak bisa kita nafikkan bahwa sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah Negara, setiap daerah adalah satuan-satuan kecil pemerintahan yang memiliki sistem hukum dan cara hidupnya masing-masing. Dari Sabang sampai Merauke adalah jejeran geografis yang bercerita tentang fakta historis yang berbeda-beda.

Saya kemudian teringat dengan pelajaran sewaktu SD dulu bahwa Indonesia menjadi Negara yang mempersatukan seluruh daerah karena adanya rasa senasib dan sepenanggungan yang dialami oleh setiap daerah. Bahwa setiap daerah yang kini bergabung kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah daerah-daerah bekas jajahan Belanda dan Jepang. Alasan inilah yang kemudian dijadikan pelajaran turun-temurun sebagai rasionalisasi bahkan brainwashing kepada setiap generasi bahwa “perasaan” itu adalah “penghapus” sejarah yang paling ampuh yang menghapus sejarah setiap daerah.

Menciptakan Negara Kesatuan diatas landasan heterogenitas bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Hal ini juga kemudian menempatkan Indonesia menjadi satu-satunya Negara Kesatuan diatas landasan heterogenitas budaya di dunia. Amerika saja yang awalnya adalah Negara yang terbentuk dari koloni-koloni imigran inggris tidak memilih bentuk Negara Kesatuan sebagai bentuk ideal negaranya. Mereka lebih memilih menjadikan Amerika sebagai sebuah Negara Federal dimana setiap koloni bertranformasi menjadi Negara-negara bagian. Apa yang harus dilakukan Indonesia dengan pilihan bentuk Negara Kesatuannya adalah meleburkan setiap budaya dasar disetiap daerah untuk menciptakan sebuah budaya nasional. Namun, apakah budaya nasional yang dimaksdukan adalah sebuah budaya sintesis atukah budaya pemenang yang lahir dari sebuah proses akulturasi?

Jawabannya adalah “budaya pemenang” yang lahir dari sebuah proses akulturasi. Pembunuhan beberapa budaya untuk memaksakan sebuah budaya sebagai representasi merupakan pekerjaan yang berefek pada terciptanya sebuah cara berfikir di masyarakat yang menempatkan sebuah daerah lebih tinggi dari daerah yang lainnnya. Kita tidak pernah melihat bahwa yang dimaksudkan dengan budaya nasional adalah sebuah budaya yang bergabung dari beberapa budaya lokal. Tapi yang kita lihat adalah, orang papua yang dipaksa untuk mengenakan baju batik. Bahwa daerah wisata yang merupakan representase pariwisata internasional adalah Bali dan tolak ukur masyarakat modern adalah kehidupan seperti di Jakarta.

Realitas ini tentu saja merupakan penyebab terbesar ketertinggalan sebagian besar daerah dan menyebabkan Jakarta menjadi kota Over Capacity. Karena mayoritas orang di Indonesia beranggapan bahwa hidup di Jakarta memiliki prestise sosial yang lebih tinggi daripada hidup di daerahnya sendiri. Paradigma inilah yang kemudian tumbuh subur bahkan sampai di tingkat perguruan tinggi dan meracuni pemikiran sebagian besar mahasiswa. Yang nantinya, ketika mereka lulus, mereka akan melanjutkan hidup di Jakarta dan meninggalkan daerahnya.
Mereka tidak bisa disalahkan dalam persoalan ini, karena faktanya bahwa memang kehidupan yang lebih menjanjikan ada di kota besar. Yang jadi pertanyaan adalah, ketika hanya sebagian kecil kota di Indonesia yang dijadikan kota besar ini berarti bahwa pembangunan yang terjadi berjalan diatas prinsip-prinsip diskriminatif. Mengapa tidak semua daerah dibangun dengan infrastruktur yang sama? Bukankah New York adalah kota termaju di USA sedangkan Ibu Kota justru berada di Washington DC?

Ataukah mungkinkah lebih baik kalau Indonesia mengikuti jejak Uncle Sam menjadi sebuah Negara Federal?
Yap. Konsepsi “Negara Kesatuan” memang dari sononya hanya merupakan ilusi. Harusnya dengan kodrat Indonesia sebagai negara kepulauan, bentuk negara yang tepat adalah "Negara Federasi". Otonomi adalah jembatan menuju kesana, tapi sistem ini terlalu tanggung atau mendekati tapi tidak pernah menyentuh/sampai pada harapan akhir (asimtot).

Konsepsi NKRI telah menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan khususnya bagi daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam, namun miris dalam pembangunan. Negara Federasi akan meluaskan keberagaman, bukan keseragaman, namun tetap saja berada dalam satu pondasi konstitusi yang kuat yang mengukuhkan Indonesia.

NKRI ini kapal besar namun bapuk. Bolong dimana-mana. Tambal di sini, bocor di sana. Boro-boro bermanuver, jalan selo saja susah. Lebih baik negara ini dipecah saja jadi 6-8 Negara Federal. Biar NKRI ini tak cuma mutar-mutar aja kayak sekarang. Sekarang kegedean. Ruwet. Kapal besar yang bolong dimana-mana.

Sendi sosial, ekonomi, juga sistem politik di NKRI ini sudah mati gaya. Negara ini auranya sudah negatif dari sononya. Jadi intinya, NKRI ini adalah obstacle kemajuan. Mustahel bisa jadi katalis.

Bubarkan, wassalam.







Referensi;
- Nurul, Wa Ode. 2014. Negara federal menuju keadilan sosial.
- ubegebe.com 2015. Negara gagal.



No comments:

Post a Comment